![foto-persib-bandung-vs-mitra-kukar-mengheningkan-cipta-SIM_2645]()
Mengakhiri musim 2013 di peringkat ke-4, ucapan terimakasih & apresiasi patut diberikan bobotoh kepada manajemen, tim pelatih dan pemain yang sepanjang musim telah berjuang dan bermain di bawah panji kebesaran Maung Bandung. Evaluasi, selalu menjadi ‘kata wajib’ pertama yang keluar dari pernyataan manajemen menyikapi hasil yang (lagi-lagi) belum mencapai apa yang telah diharapkan bobotoh selama 18 tahun terakhir, yaitu Juara!
Pertanyaan yang paling sering keluar dari bobotoh, bahkan dari setiap orang yang mengikuti perkembangan sepakbola nasional: “Apa yang kurang dari Persib? Sponsor banyak, dana melimpah, dukungan birokrasi kuat, pemain rata-rata berlabel Timnas, bahkan striker sekaliber Sergio van Dijk telah didatangkan, alih-alih juara, yang muncul adalah kesan bahwa setiap ‘pemain bagus’ yang datang ke Persib, penampilannya akan cenderung menurun.” Mengapa hal ini terus menerus terjadi selama bertahun-tahun?
Ada berbagai masukan, mulai dari mengganti pelatih, juga ada yang mengusulkan untuk mulai menggunakan pemain-pemain hasil binaan sepakbola Bandung, sampai ada juga yang menyindir daya juang pemain & cara manajemen yang dianggap terlalu memanjakan pemain. Mudah-mudahan manajemen Persib bisa menyikapi berbagai pernyataan tersebut dengan positif. Kritik & cacian bisa dianggap sebagai kecintaan bobotoh kepada tim yang dibela & dikaguminya sepenuh hati.
Kembali ke lapangan, ketika melihat Persib Bandung tampil dengan performa terbaiknya, terkadang kita berpikir bahwa rasanya sulit bagi tim manapun di tanah air untuk menghentikan skuat Maung Bandung. Namun pikiran tersebut seringkali hilang dalam sekejap ketika melihat penampilan Persib (terutama laga tandang) yang terkadang juga tampil buruk. Masalah terbesar Persib Bandung dari tahun ke tahun adalah inkonsistensi penampilan. Terkadang mereka tampil layaknya tim juara, namun terkadang juga mereka tampil membuat murka bobotoh yang menyaksikan penampilan buruk mereka di stadion maupun layar televisi.
Berkaca dari penampilan Persipura Jayapura di beberapa musim terakhir, selain kekompakan yang terjaga karena tim yang ‘dibentuk’ dengan cara yang benar, Mereka selalu tampil ngotot, mereka seperti tampil dengan ‘amarah’ membawa harga diri masyarakat Papua yang tidak ingin dianggap remeh oleh tim-tim asal Pulau Jawa. Dampak positif dari semangat pemain-pemain binaan mereka asli Papua ini menular kepada pemain asing yang mereka miliki seperti Zah Rahan, Bio Pauline bahkan kiper asal Korea Yoo Jae-Hoon.
Sungguh berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Persib Bandung. Pemain-pemain berstatus Timnas & pernah juara di berbagai klub didatangkan, setelah beberapa bulan bergabung, setelahnya mereka turut masuk ke area comfort zone, keadaan dimana mereka merasa betah, terbuai dengan pujian & dukungan bobotoh, terlalu nyaman dengan kebaikan yang diberikan manajemen, yang akhirnya mengakibatkan mereka merasa sudah mencapai tujuan hidupnya, tanpa punya keinginan untuk berkembang, kehilangan motivasi bermain dan memperjuangkan gelar juara yang sebenarnya sangat diinginkan oleh seluruh aspek tim, termasuk bobotoh. Tanpa disadari, tujuan utama seorang pemain ketika bergabung di Persib, yakni membawa tim ini juara, seringkali di tengah jalan menjadi berubah tujuan, yakni bagaimana caranya sang pemain tetap bertahan di tim ini di musim mendatang.
Buku “From Comfort Zone to Performance Management” – Alasdair White bercerita tentang bagaimana zona kenyamanan dapat berpengaruh terhadap kinerja seseorang, dan dampaknya secara keseluruhan bagi sebuah tim/unit kerja. Persib, harus diakui menjadi klub yang diimpikan setiap pemain sepakbola professional di negeri ini. Dukungan bobotoh, dan dana melimpah serta jaminan gaji yang besar & lancar seolah menjadikan Persib menjadi tujuan utama seorang pesepakbola profesional yang ingin berkarir di Indonesia.
Ketika bisa bergabung dengan Persib, pemain merasa telah mencapai puncak karir profesionalnya, dan di titik inilah ada sebagian dari mereka yang sudah merasa puas. Berlatih & bertanding hanya untuk memenuhi kewajibannya dalam kontrak. Akhirnya, sang pemain lebih banyak memikirkan apa yang akan dilakukan dengan uang yang didapat dari kontraknya di Persib. Mungkin memang hanya 1-2 pemain yang seperti ini, namun dampaknya akan menular kepada pemain-pemain lainnya.
Sesungguhnya hal ini sangatlah bersifat manusiawi, namun disinilah tugas manajemen melakukan apa yang di dalam buku diatas disebut Manajemen Stress, memberikan tekanan psikis atau stress kepada pemain & pelatih agar mencapai puncak kemampuannya ketika bertanding di lapangan. Karena memang secara naluriah, seorang manusia akan mengeluarkan kemampuan terbaik yang dimilikinya ketika dalam keadaan tertekan, terancam & bahkan terjepit.
Bukti nyata dari apa yang terjadi di Persib beberapa tahun terakhir: Pemain mendadak bisa bermain baik dan seperti kesetanan pada pertandingan di akhir musim yang selalu digadang-gadang menjadi laga yang menentukan apakah seorang pemain akan diperpanjang kontraknya di musim mendatang.
Fungsi manajemen di paragraf diatas inilah yang belum terlihat berjalan dengan semestinya. Manajemen stress tidak selalu harus dilakukan dengan ancaman putus kontrak, namun bisa berupa penegakan disiplin latihan, pola makan, perubahan aturan, dan lain-lain. Memperbanyak aktifitas yang memancing adrenalin dan membangkitkan ‘amarah’ ketika bertanding namun tetap menjaga suasana kondusif tim bisa dipertimbangkan masuk dalam rencana-rencana kecil yang dilakukan secara rutin. Pak Umuh sebagai manajer sebenarnya membutuhkan second-man (orang kedua) yang mampu mengendalikan operasional tim ini secara lebih detail sehari-harinya, termasuk memberikan support kepada tim pelatih dari sisi manajerial untuk mengendalikan performa tim secara keseluruhan. Sebenarnya, Pak Djadjang sebagai pelatih sudah terlihat mampu mengendalikan hal ini selama putaran pertama di musim lalu, namun entah mengapa ketika masuk di putaran kedua, terutama pasca libur hari raya, dirinya seperti kehilangan kendali atas inkonsistensi penampilan yang dialami anak asuhnya.
Sebagai contoh, Sergio van Dijk bisa bermain bagus, ngotot dengan motivasi tinggi di awal sampai pertengahan musim, karena motivasi besarnya meninggalkan Adelaide United dan bergabung dengan Persib. Hasilnya, penampilan Sergio menuai panen pujian dari semua orang yang mengikuti kiprahnya di ISL. Padahal ketika datang ke Persib kondisinya sudah lama tidak bermain di kompetisi Liga Australia & belum beradaptasi maksimal dengan tim barunya, Persib. Namun setelah libur kompetisi panjang, bahkan sampai di akhir musim terlihat agak menurun, lamban, dengan badan yang terlihat sedikit berlemak. Sergio bisa menjadi contoh, betapa zona nyaman seorang pemain sangat berbahaya bagi penampilan dirinya & juga tim yang dibelanya. Demikian juga puji-pujian berlebihan dari bobotoh, bisa membuat pemain merasa terlena, yang akhirnya membuat pemain merasa cepat puas & tidak ingin lagi berkembang lebih jauh. Sepakat dengan kalimat yang pernah dilontarkan legenda hidup Persib, Ajat Sudrajat: “Pujian adalah racun, kritik & cacian adalah obat.”
Semoga manajemen Persib bisa mengevaluasi hal ini, dan tidak ada lagi kendala lainnya yang datang dari internal tim di musim mendatang untuk menjadi juara. Jangan lupakan juga para pemain muda produk binaan sepakbola Bandung, karena sebenarnya para pemain produk asli sepakbola Bandung inilah yang akan bermain dengan penuh rasa bangga menggunakan jersey Persib, yang mudah-mudahan akan turut menular kepada para pemain asing & para pemain yang direkrut dari klub lainnya.
Ditulis oleh Richard, yang mempunyai ber-twitter @richleiw